Sabtu, 10 Mei 2014

Rusa Yang Berburu Singa


Badannya ramping, langkahnya tegas.
 
Sebuah bentuk kesempurnaan.

Alam membentuknya demikian.

Sayang bernasib malang, ia terpisah dari kawanan.

Lapar di tengah luasnya rerumputan yang kuning, kering.


Kesepian, mencoba berteduh dari panas.

Ia menemukan siraja hutan.

Perutnya panas, matanya merah, liur mengalir deras.


Sadar akan kehadiran rusa, singa berdiri.

Singkatnya mereka berlari.

Singa terjatuh dan rusa menerkamnya erat.

Lelah menari, mereka beradu cinta.

Rabu, 30 April 2014

Diskusi Hangat Diet Media


Pada tahun 1988 kurang dari setengah persen rumah tangga Amerika yang tersambung secara online, sekarang 73 persen dari semua warga Amerika menggunakan internet[1]. Kurang lebih 90% remaja berusia 18 – 29 tahun di Amerika telah menggunakan internet. Sementara untuk mahasiswa, 84% telah menggunakan internet[2]. Pengguna aktif bulanan Facebook mencapai hingga 1,15%, hampir seperempat populasi dunia[3].
Sekarang, Indonesia merupakan salah satu negara pengguna internet terbesar di dunia, salah satunya Facebook dan Twitter. Indonesia merupakan pengguna kedua Facebook terbanyak kedua didunia, mencapai hingga 35.482.400 juta pengguna, lebih banyak ketimbang total penduduk Kanada. Sementara Indonesia yang merupakan pengguna keempat terbanyak untuk Twitter mencapai hingga 4.883.228 pengguna yang seimbang dengan jumlah penduduk Singapura[4].
Tingginya jumlah penggunaan sosial media di Indonesia seharusnya diimbangi dengan pemikiran kritis para penggunanya. Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengavaluasi dan mengkomunikasikan atau membuat produk-produk media. Kemampuan literasi media. 
Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementrian Komunikasi dan Informatika Pasal 8 Tahun 2010 yang berbunyi “Ruang lingkup pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial adalah peningkatan kemampuan Lembaga Komunikasi Sosial meliputi manajemen, Sumber Daya Manusia, kelembagaan dan aktivitas Lembaga Komunikasi Sosial.” Pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk workshop dan forum, bimbingan teknis, simulasi dan penyediaan bahan‐bahan informasi.
Gerakan pemberdayaan khalayak dan pendidikan media sangat gencar dilakukan dinegara-negara Eropa dan Amerika. Pendidikan media dilakukan di Inggris dengan menjadikannya mata pelajaran di sekolah-sekolah. Di Kanada pendidikan media dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Di Rusia, pendidikan media sebagai salau satu spesialisasi di perguruan tinggi di beberapa kota besar di Rusia. Bahkan di Amerika Serikat sudah terdapat pendidikan melek-media pada jenjang S-2 dibeberapa perguruan tinggi. Hal ini juga berlaku dengan negara Eropa dan juga Australia. (Yosal, 2009).

Bagaimana di Indonesia?
Berdasarkan penelusuran kepustakaan terhadap buku-buku tentang kajian media dan media literasi dan survei baik dalam bentuk cetak maupun online, menunjukan tingginya penggunaan sosial media di dunia terutama di Indonesia, dan perhatian yang serius terhadap pendidikan media sebagai bentuk untuk mempersiapkan khalayak dan konsumen media massa dalam menghadapi terpaan (Exposure) media massa.
Temuan ini menimbulkan beberapa pertanyaan antara lain :
1.  Apakah pendidikan literasi media terasa perlu diterapkan kedalam kurikulum pendidikan di Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Kanada?
2.   Apakah yang dapat dilakukan atau gerakan apa yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk pemberdayaan khalayak dan pengguna sosial media di Indonesia khususnya terhadap para mahasiswa?

Teori Ekologi Media
Gerakan yang dilakukan oleh FBA berlandaskan kepada salah satu teori komunikasi massa, yaitu Teori Ekologi Media (Media Ecology Theory) yang membahas tentang keterikan masyarakat terhadap media terutama mempertimbangkan dampak dari Internet.
Tema utama dari teori ini adalah bagaimana masyarakat tidak dapat melarikan diri dari pengaruh teknologi dan bahwa teknologi akan tetap menjadi pusat semua bidang profesi dan kehidupan. Menurut McLuhan, masyarakat sangat tergantung pada teknologi dan norma sosial dalam kehidupan masyarakat tergantung kepada kemampuan dalam menghadapi teknologi tersebut. Yang pada intinya media elektronik telah mengubah masyarakat secara radikal. Asumsi dari teori ekologi media adalah sebagai berikut :
  1. Media melengkapi setiap tindakan di dalam masyarakat.
  2. Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita.
  3. Media menyatukan dunia.
Tetapi bagian terpenting didalam teori tersebut yang digunakan sebagai dasar ilmiah gerakan literasi media yang kami lakukan adalah diskusi McLuhan terhadap teori tersebut, yaitu hukum media (laws of media)[5]. Karya tersebut membahas tentang apa yang dapat dipengaruhi (ditingkatkan) oleh media, bagaimana media dapat membuat sesuatu menjadi ketinggalan zaman, apa yang diambil alih dan dikendalikan oleh media, khususnya internet.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan sebuah gambaran tentang dampak karena penggunaan media. Yang pertama adalah bahwa kita tidak dapat melarikan diri dari penggunaan media didalam hidup kita. Kemudian yang kedua bahwa kita secara langsung dipengaruhi oleh media.
  
Rencana Riset
Projek riset yang bertemakan literasi media ini dilakukan sebagai bentuk untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Etika Komunikasi yang diampu oleh Sih Natalia Sukmi. Projek ini dilaksanakan oleh lima orang mahasiswa program studi komunikasi FISKOM UKSW yang dikemudian membentuk FBA (For Better Audience).
Projek dilakukan berdasarkan riset aksi praktek (practical action research) yang dilakukan dengan mengadakan diskusi dan sosialisasi terhadap akademisi baik mahasiswa maupun dosen FISKOM UKSW. Diskusi dilaksanakan pada Jumat, 11 April 2014 di Lab.Grafis FISKOM UKSW yang dihadiri oleh 8 mahasiswa dan 2 dosen.
Dalam projek riset tersebut, FBA mengundang mahasiswa dan dosen FISKOM untuk mengikuti sosialisasi dan diskusi terkait pendidikan media dan gerakan diet media. Diskusi tersebut dilakukan dengan tujuan antara lain sebagai berikut :
a.   Untuk menerima tanggapan akademisi yang bergerak di bidang media mengenai penggunaan sosial media oleh mahasiswa dan penerapan pendidikan literasi media kedalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
b.   Merangsang peserta diskusi untuk mengendalikan penggunaan sosial media mereka.
c.  Menimbulkan kesadaran terhadap peserta diskusi terhadap penggunaan sosial media di Indonesia dan bagaimana perkembangannya sekarang.

Daftar Pustaka
1.      Biagi, Shirley. 2012. Media/Impact : An Introduction to Mass Media. McGraw-Hill.
2.   Dominick, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communicatio. Singapore. McGraw-Hill.
3.   Iriantara, Yosal. 2009. Literasi Media : Apa, Mengapa, Bagaimana. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
4.  West, Richard & Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Humanika.



[1] Biagi, Shirley. Media/Impact : An Introduction to Mass Media. Hlm.186.
[2] Pew Internet & American Life Project, April 8 – May 11, 2008 Tracking Survey.
[3] Data didapatkan dari Search Engine Journals
[4] Berdasarkan riset Socialbakers.com
[5] Hukum media merupakan perluasan lebih jauh dari Teori Ekologi Media dengan fokus pada dampak teknologi terhadap masyarakat. Karyanya dengan Putranya tersebut mempertimbangkan dampak dari internet.

Jumat, 18 April 2014

Penulis Aneh dari Jepang, Akutagawa Ryunosuke

           Waktu aku melintas di selasar perpustakaan, sedang diadakan obral buku disitu. Harganya miring dan bervariasi, mulai dari 5 ribu, 10 ribu, hingga 25 ribu. Kemudian ku borong, hingga lima buku saat itu. Malamnya, kubaca salah satu novel pendek tulisan Akutagawa Ryunosuke, Kappa.

Buku itu menceritakan seseorang yang masuk kedalam dunia Kappa, monster sungai rawa dari cerita rakyat Jepang. Dari situ aku berikan kekaguman kepadanya. Aku membaca secara miris bagaimana sebenarnya Ryunosuke menggambar secara aneh kehidupan manusia. Aku takkan menceritakannya disini. Malas.

Dari buku lain Ryunosuke, kumpulan cerita Rashomon, aku dapat lebih banyak cerpen-cerpennya seperti Bubur Ubi dan Hidung. Aku tidak begitu sering membaca novel, aku lebih sering membaca literatur perkuliahan. Namun membaca Ryunosuke membuatku shock untuk sesaat.

Dia seorang penulis aneh. Aku belum pernah membaca cerita yang seperti ini sebelumnya. Rashomon, menceritakan seorang Genin, samurai kelas rendah yang memergoki seorang nenek tua sedang mencabuti rambut mayat-mayat dan menjualnya sebagai cemara. Nenek tersebut beralasan bahwa mayat-mayat tersebut pantas diperlakukan demikian, lagipula jika ia tidak melakukannya, nenek tersebut akan mati kelaparan. Kemudian Genin, seseoran yang menjunjung tinggi moralitas malah merampok nenek tersebut.

“Kalau begitu jangan salahkan aku jika aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tidak melakukannya”

Itu yang dikatakan Genin, kemudian merenggut pakaian yang dikenakan perempuan tua itu. Nenek tersebut tersungkur. Sambil menggerutu dan mengerang, dia kembali berdiri dan melongok ke bawah gerbang dengan ubannya yang pendek menjuntai. Dua paragraf terakhir bertuliskan :

“Di luar hanya ada kelam malam. Tak ada yang tahu ke mana Genin pergi.”

Sudah? Ya, sudah. Ceritanya Genin baru saja dipecat oleh tuannya, kemudian pergi ke semacam Rashomon (gerbang) dan mendapati nenek tua mencabuti rambut mayat-mayat. Genin lantas merampok nenek tersebut dan pergi entah kemana. Ini membuatku bertanya-tanya apa maksud cerpen tersebut? Apa maksud Ryunosuke? Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Ryunosuke? Tulisan tersebut membuatku kesal sekaligus kagum. Aku kebingungan dengan maksud dari cerpen tersebut, tapi itu yang aku sukai. Ingin sekali aku melanjutkan kisah tersebut.

Kurang lebih dengan Rashomon, ada cerpen berjudul Bubur Ubi. Bubur Ubi menceritakan tentang seorang Goi, samurai yang paling rendah kelasnya #aku tidak dapat membedakannya dengan Genin. Goi tersebut mempunyai tampang yang sangat tidak menarik. Dalam masyarakatnya dia tidak dianggap, dan seringkali dilecehkan dan diacuhkan. Konyol lagi, keinginan terbesarnya adalah hanya untuk makan sup ubi sepuas-puasnya. Hingga suatu saat Goi tersebut berkunjung ke Tsuruga bersama tuanya, Toshihito. Disana ia dapat makan sup ubi sepuasnya. Tetapi sebelum ia memakan sesendokpun sup ubi tersebut, Goi sudah dibuat kenyang karena jumlah sup ubi yang sedang dimasak. Ia terpaksa untuk makan sup ubi sebanyak-banyak. Sudah.

Ada beberapa hal yang mendekan Ryunosuke dengan penulis-penulis cerpen lain, ide ceritanya menakjubkan, tidak konvensional seperti yang selama ini aku baca. Dia berbeda dari yang lain. Pengarang naturalis lebih populer pada zamannya. Pengarang naturalis seringkali mengungkapkan kehidupan asmara dan pengalaman pribadi mereka secara terang-terangan. Menurut Ryunosuke hal semacam itu sebagai hal yang dangkal. Berbeda dengan mereka, Ryunosuke menggambarkannya dengan cara yang lain. Melalui karakter-karakter seperti manusia, hewan, setan dan makhluk-makhluk aneh.

Beberapa tulisan Indonesia yang mengungkapkan kehidupan dan pandangan hidup penulisnya secara terang-terangan adalah Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Tokoh cerita dan pengarangnya sama persis, perempuan, berlatar belakang agama Islam yang taat, dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender, bahkan mungkin feminisme.


Membaca cerpen-cerpennya membuatku gatal ingin menulis. Jelas, nantinya Ryunosuke akan menjadi salah satu pengaruh besar dalam tulisan-tulisanku. Bukan saja tulisannya saja yang mempengaruhiku, tetapi terutama bagaimana dia menulis.

Yang aku pelajarinya setelah membaca tulisan-tulisannya adalah
"Menggambarkan dunia dengan caramu".

Rabu, 16 April 2014

Golput Menggugat Demokrasi



Sebagai sebuah sistem politik yang menjunjung tinggi kesamaan hak warga negara dalam pengambilan keputusan, demokrasi terus memperbarui dirinya selama 2.500 tahun terakhir. Semenjak pertama kali di lahirkan di negara-negara kota (polis) di Yunani pada abad ke 5 SM, sekarang 47% negara di dunia telah menganut sistem ini[1]. Indonesia merupakan salah satu dari 47% negara di dunia yang ikut mengambil bagian sebagai negara demokrasi tersebut.
Dalam pemerintahan yang demokratis, negara mengakui partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan pengakuan terhadap hak dan martabat warga negara. Pengakuan ini terwujud dalam bentuk pemilihan umum yang ditujukan untuk menunjuk wakil-wakil rakyat yang mengisi posisi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Begitupun Indonesia yang katanya negara demokrasi ini, atas nama kedaulatan rakyat, Indonesia juga melaksanakan pemilihan umum tersebut. Semenjak Indonesia diresmikan pada tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan 10 kali pemilihan umum. Yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955 untuk untuk memilih anggota DPR dan konstituante.
Dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi presidensial dengan sistem multipartai, Indonesia telah jatuh dan terluka karena batu sandungan-batu sandungan demokrasi. Pengambil alihan kekuasaan ketangan segelintir orang yang menciderai demokrasi dan mengubahnya menjadi sebuah rezim otoriter yang kuat dan mengontrol segala aspek kehidupan dalam negara pernah terjadi. Penyalahgunaan surat suara oleh partai politik yang tidak bertanggung jawab dan baru-baru ini semenjak pemilu 2006 ramai dibicarakan tentang istilah black campaign dan money politics. Dan juga tidak ketinggalan istilah golongan putih (golput).
Golongan putih bukan sebuah sebutan baru. Istilah tersebut pertama kali terdengar pada pemilihan umum 1971 pada era orde baru. Imam Waluyo menceturkan istilah tersebut pada 1 Juni 1971 di balai Jakarta. Golongan putih muncul sebagai bentuk gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda terhadap kekuatan angkatan bersenjata dan pemerintah orde baru yang ingin memantapkan kekuasaannya. Bapak Arief Budiman, doktor lulusan  Harvard yang merupakan dosen UKSW dan universitas Melbourne merupakan salah satu tokoh gerakan tersebut. Arief Budiman beserta tokoh golongan putih lainnya bahkan pernah dipanggil Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) karena kegiatannya. Golongan putih pernah dilarang pada era tersebut, Menteri  Luar Negeri Adam Malik bahkan menyebutnya sebagai golongan setan.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan istilah tersebut. Warga negara yang tidak dapat dan tidak berhak untuk mengikuti pemilihan umum disebut sebagai bukan pemilih. Sementara golongan putih merupakan individu atau sekelompok yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan tertentu, biasanya sebagai bentuk penolakan terhadap calon-calon wakil rakyat. Mereka yang bukan pemilih belum tentu golput, mereka bisa saja berkeinginan untuk mengikuti pemilihan umum, tetapi tidak sempat atau tidak berhak. Sementara golput merupakan pemilih, tetapi dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.
Golongan Putih di Mata Hukum
Didalam setiap pemilihan umum, selalu saja ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini terjadi disetiap pemilihan umum disetiap negara. Yang patut diperhatikan adalah ketika jumlah Golput begitu tinggi. Golput menjadi perhatian serius KPU pada Pemilu 2014. di Cirebon, Jawa Barat jumlah golput mencapai 54%. Bahkan di Sumatera Utara jumlah golput mencapai 60%[2].
Jumlah Daftar Pemilih Tetap sesuai dengan data yang dimiliki KPU berjumlah 186.569.233 orang[3]. Padahal jumlah penduduk Indonesia 250 jutaan. Ini berarti kurang lebih 63 juta warga negara Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya atau tidak terdaftar sebagai pemilih.
Pembenaran untuk golput dalam pemilihan umum dapat dilihat UU No 39/1999 tentang HAM pasal 43. Juga didalam UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi : “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak untuk memilih”. Dalam pasal tersebut, memilih dituliskan sebagai “hak” bukan “kewajiban”.
Selain itu didalam Undang-Undang Dasa (UUD) 1945 yang diamandemenkan pada 1999-2002 pasal 28 E yang berbunyi : “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.  Pelaksanaan pemilihan umum dijelaskan sebagai “bebas” dimaksudkan bahwa warga negara bebas untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak. Dilihat dari sisi hukum, golput bukanlah tindakan pidana. Tidak datang ketempat pemilihan umum pada hari pemilihan, merupakan tindakan abstention. Dan abstention bukanlah tindakan yang melanggar hukum.
Bercermin dan Tanyakan Pada Golput
Mungkin ada beberapa alasan dan penyebab yang dapat menjelaskan adanya warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Yang pertama adalah warga negara yang tidak mengerti regulasi dan persyaratan untuk menjadi seorang pemilih. Alasan yang kerap kali dilontarkan seperti status kuliah dan kerja kemudian berdomisili jauh dari tempat asal tinggal sehingga tidak dapat dan tidak sempat mengikuti pemilihan umum di daerahnya. Padahal sebenarnya KPU sendiri membantu para perantau tersebut agar dapat memilih ditempat sekarang ia tinggal.
Alasan yang lain mungkin adalah kebingungan para pemilih untuk menentukan calon pemimpin. Pemilih dihidangkan banyak sekali stiker dan baliho puluhan calon legislatif. Para calon menggunakan cara yang terlalu konvensional dan minim alternatif dalam berkampanye. Dari pada bingung, beberapa pemilih bahkan tidak menggunakan hak pilihnya.
Dan yang terakhir mungkin adalah ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pemerintah dan calon legislatif yang maju untuk dapat duduk dikursi pemerintahan harus dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Yang jelas masyarakat telah bosan disuapi oleh janji politik menjelang kampanye pemilihan.
Ada beberapa upaya yang mungkin dapat diupayakan untuk menekan jumlah golongan putih. Misalnya pemerintah khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin lebih giat mensosialisasikan regulasi dan peraturan pemilihan umum terhadap masyarakat. Sosialisasi dapat berupa iklan layanan masyarakat di media massa baik elektronik dan cetak ataupun dilakukan secara langsung melalui seminar dan sosialisasi.
Tingginya jumlah golongan putih dan masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan umum, secara tidak langsung dapat menjadi alat ukur dan cerminan pesimisnya warga negara terhadap penyelenggaraan demokrasi. Golput menjadi bentuk kekecewaan masyarakat terhadap tokoh dan partai politik, termasuk terhadap pemerintah.
Mari bangsa ini bercermin, coba lihat bagaimana penyelesaian kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo dan gerakan separatis di Aceh dan Irian Jaya. Juga bagaimana siaran berita televisi terkait korupsi dan nepotisme menghantam mata dan telinga masyarakat. Masyarakat jenuh terhadap oleh segala kekisruhan yang terjadi di arena perpolitikan tanah air. Yang pasti, tanpa perubahan yang dapat dirasakan masyarakat, golput akan selalu ada dan tidak menutup kemungkinan terjadinya pembengkakan jumlah golongan putih. (Bima Satria Putra)


[1] "Democracy index 2012: Democracy at a standstill". Economist Intelligence Unit. 14 March 2013. Diunduh 29 Maret 2014.
[2] Ikhwan, Khairul. 2013. Tingkat Golput Dalam Pilgub Sumut Lebih Dari 50 Persen. Di akses dari new.detik.com pada tanggal 30 Maret 2014.
[3] http://data.kpu.go.id/dpt.php
 

Tulisan ini diposting juga dalam Portalentera.

Senin, 31 Maret 2014

Film Indonesia : Horor, Sex dan Komedi

Dibuat untuk tugas presentasi kelompok mata kuliah Sistem Komunikasi Indonesia (SKI)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi
Universitas Kristen Satya Wacana 
Anggota Kelompok :
Thomas Djulianto Lie (362013038)
Alexander August Angelbert Badio (362013095)
Bima Satria Putra (362013070)
Ivan Mangihot Sialoho (362013090)
Morison Batubara (362013094)
Tri Maulana Putra H (672013017)
Andreas Reuben Oktavius (362013003)

Pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 100 judul. Ini adalah sebuah angka yang tinggi dibanding 10 tahun terakhir. Tingginya jumlah produksi film ternyata dipicu oleh tingginya animo penonton untuk menonton film Indonesia. Peningkatan jumlah film di Indonesia tidak diimbangi dengan perkembangan dari segi kualitas film itu sendiri. Disini beberapa tahun terakhir film-film di Indonesia hanya berorientasi pada sesuatu yang bertemakan komedi, horror dan seks.
Film sebagai hasil seni dan budaya mempunyai fungsi dan manfaat yang luas dan besar  baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya dalam rangka menjaga dan mempertahankan keanekaragaman nilai-nilai dalam penyelanggaraan berbangsa dan bernegara. Film berfungsi sebagai:
  1. sarana pemberdayaan masyarakat luas
  2. pengekspresian dan pengembangan seni, budaya, pendidikan, dan hiburan
  3. sebagai sumber penerangan dan informasi
  4. bagian dari komoditas ekonomi ( saat ini )
Saat ini hampir semua perfilman Indonesia menampilkan film horror yang dipenuhi adegan -  adegan porno layaknya film dewasa. Bagian atau scene film horor Indonesia menampilkan aksi - aksi panas dan tidak senonoh dari para pemerannya. Produser Film Indonesia saat ini lebih mementingkan urusan untung rugi ketimbang urusan moral. Bahkan ada beberapa produser film yang secara terang – terang menggunakan jasa bintang film porno dalam filmnya hanya untuk menarik minat penonton.  Prodesur tidak lagi memikirkan nilai – nilai yang terkandung dalam film tersebut, mereka hanya mementingkan kepentingan komersil ( profit ) 

Analisis
Berikut ini alasan – alasan mengapa perfilman Indonesia lebih menampilkan berbau seksualitas:
  1. Produser tidak berani ambil resiko. Produser lebih memilih untuk mencari aman, agar tidak terlalu mengalami banyak kerugian, seandainya film yang dia buat tidak laku dipasaran. Orientasi ini yang membuat produser lebih mementingkan profit dibandingkan nilai – nilai yang terkandung dalam film tersebut.
  2. Modal produksi kecil. Kecilnya modal yang dimiliki oleh industri perfilman membuat kualitas film menjadi tidak maksimal. Pemerintah harusnya memberi perhatian khusus kepada film – film Indonesia bukan kepada film – film luar sehingga film Indonesia mampu bersaing dengan film – film luar negeri.
  3. Audience Approach. Kecenderungan dalam mengikuti selera masyarakat membuat perfilman Indonesia menjadi monoton. Industri perfilman Indonesia masih bergantung pada respon yang diberikan masyarakat sehingga  sangat takut untuk mencoba hal – hal yang baru.
  4. Perilaku Mimitisme. Kecenderungan perfilman Indonesia dalam mengikuti arus, membuat perfilman Indonesia tidak berkembang.
Film Horor Indonesia Peremehan Harkat dan Martabat Manusia
  1. Tercermin dalam adegan pornografi, bahwa pria hanyalah sebuah makhluk penuh nafsu dan wanita hanya sebagai pemuas kebutuhan.
  2. Tercermin dalam adegan komedi, kekerasan non-fisik. Misalkan kekerasan verbal (mengejek dan menghina) dan kekerasan mental (menakut-nakuti, menjauhi).
  3. Tercermin dalam adegan horror, dimana manusia hanya mengandalkan benda dan ritual sihir dibandingkan dengan seharusnya manusia yang selalu mengandalkan Tuhan YME.
 Unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi :
  1. Mendorong khalayak umum untuk melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika
  2. Menonjolkan pornografi
  3. Memprovokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antarsuku, antarras dan antar golongan
  4. Menistakan, melecehkan atau menodai agama
  5. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum
  6. Meremehkan harkat dan martabat manusia
  
Pada poin B dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung pornografi namun hampir semua film horor di Indonesia berbau pornografi. Film sebagai pranata sosial:
  1. Film sebagai media publik memiliki kekuatan dalam mendorong sistem sosial yaitu perubahan struktur dan nilai-nilai masyarakat. Film dapat mempengaruhi masyarakat secara tidak langsung, nilai – nilai yang ada pun bisa berubah seiring dengan film – film yang dikonsumsi oleh masyarakat. Apabila masyarakat disuguhkan oleh tayangan – tayangan film yang berbau pornografi , tidak mengherankan banyak kasus pemerkosaan yang marak di Indonesia.
  2. Film sebagai media publik yang bersifat audiovisual, memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi publik, terletak pada sisi emosi sehingga memiliki daya persuasif yang tinggi. Film dapat digunakan sebagai media untuk mempengaruhi penonton. Film horor yang berbau pornografi dapat mempengaruhi penonton mencontoh perbuatan – perbuatan yang ada di film tersebut.

Minggu, 30 Maret 2014

Mengabdi Kepada Masyarakat (Sesuai Dengan Nilai-Nilai Dasar UKSW)

Dibuat sebagai syarat mengikuti Latihan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LLKM) 
UKSW 2014  

Oleh
Bima Satria Putra (362013070)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi

Mengabdi pada masyarakat pada intinya menyerahkan diri secara total untuk membantu atau menggerakan permasalahan dan kondisi situasi masyarakat. Pengabdian terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan melaksanakan proyek pengembangan, pembinaan dan penyuluhan oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat dengan melakukan penelitian dan observasi lapangan terlebih dahulu. 
Bentuk-bentuk pengabdian kepada masyarakat tidak hanya dilakukan melalui kegiatan-kegiatan formal LSM, organisasi masyarakat atau perguruan tinggi, namun juga diluar itu. Pengabdian masyarakat dapat dilakukan oleh komunitas-komunitas yang bergerak dibidang tertentu semisal lingkungan hidup dan sosial kemanusiaan atau dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang tidak dipayungi oleh badan organisasi resmi. 
Universitas Kristen Satya Wacana diharapkan dapat menjadi radar yang menangkap dan menyadari segala macam kondisi dan situasi pada masyarakat untuk dijadikan objek atau sasaran pembahasan dan penelitian. Hal ini tercermin dalam Visi UKSW poin keempat. Lalu setelah melakukan pembahasan dan penelitian, serta menyadari dan bersikap kritis terhadap perubahan dan kecenderungan didalam masyarakat, apa yang dapat dilakukan oleh seluruh civitas academica UKSW, dalam memberikan perubahan bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia? Jawabannya adalah kegiatan pengabdian kepada masyarakat. 
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat tercermin dalam visi dan misi UKSW. Pasal 7 Statuta UKSW 2010 merumuskan Visi Universitas sebagai dalam poin kelima, yaitu menjadi pelayanan dan lembaga pendidikan pelayanan (diakonia), sepanjang masa mencakup kritik yang konstruktif serta informatif kepada gereja dan masyarakat terhadap keadaan masyarakat di mana masih terdapat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidakdamaian. 
Sudah kewajiban seluruh civitas academica UKSW untuk bertangungjawab memelihara dan menerap visi dan misi universitas itu. Tanggung jawab ini dipikul juga seperti di atur dalam pasal 8 Statuta UKSW 2008 dalam poin pertama untuk melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu :

  1. Pendidikan dan pengajaran tinggi
  2. Penelitian
  3. Pengabdian kepada masyarakat

Pengabdian kepada masyarakat itu tengah diupayakan dengan dibentukannya biro - biro penelitian dan pusat studi universitas. Selain itu juga dengan diterbitkannya jurnal-jurnal yang mewadahi penelitian dan karya tulis ilmiah sesuai dengan bidang keahliannya. Kegiatan pengabdian masyarakat lainya adalah Live In dan Latihan Lanjutan Kepemimpinan Mahasiswa (LLKM). 
Dengan diadakannya LLKM, kedepannya mahasiswa dan seluruh civitas academica, diharapkan menjadi profil lulusan yang memiliki bentuk kompetensi akademik dan manajerial dan kepemimpinan (Leadership and Managerial Skills) dalam memimpin dan mengelola diri, keluarga, masyarakat dan gereja. Kemampuan kepemimpinan juga termasuk dalam penyelesaian masalah dan konflik, dan pembuatan keputusan untuk mencapai tujuan bersama. Keahlian/kemampuan dan penguasaan atas ilmu pengetahuan untuk dipergunakan secara bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban ditempat kerja, masyarakat, gereja dan bangsa. 

Selain diperlengkapi dengan bekal ilmu pengetahuan dan kepakaran di bidang tertentu (Academic Expertise), seluruh civitas academica khususnya mahasiswa harus memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Kesadaran tinggi untuk pengabdian terhadap masyarakat perlu ditanamkan kedalam benak mahasiswa, demi terciptanya angkatan-angkatan yang dapat membawa perubahan ditengah kekacauan dan kesulitan yang sedang dialami masyarakat. Sesuai dengan lulusan mahasiswa yang diharapkan bercirikan creative minority, minoritas berdaya cipta yang dapat menggerakan massa yang pasif untuk melakukan perubahan-perubahan dan pengabdian masyarakat.