Rabu, 30 April 2014

Diskusi Hangat Diet Media


Pada tahun 1988 kurang dari setengah persen rumah tangga Amerika yang tersambung secara online, sekarang 73 persen dari semua warga Amerika menggunakan internet[1]. Kurang lebih 90% remaja berusia 18 – 29 tahun di Amerika telah menggunakan internet. Sementara untuk mahasiswa, 84% telah menggunakan internet[2]. Pengguna aktif bulanan Facebook mencapai hingga 1,15%, hampir seperempat populasi dunia[3].
Sekarang, Indonesia merupakan salah satu negara pengguna internet terbesar di dunia, salah satunya Facebook dan Twitter. Indonesia merupakan pengguna kedua Facebook terbanyak kedua didunia, mencapai hingga 35.482.400 juta pengguna, lebih banyak ketimbang total penduduk Kanada. Sementara Indonesia yang merupakan pengguna keempat terbanyak untuk Twitter mencapai hingga 4.883.228 pengguna yang seimbang dengan jumlah penduduk Singapura[4].
Tingginya jumlah penggunaan sosial media di Indonesia seharusnya diimbangi dengan pemikiran kritis para penggunanya. Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengavaluasi dan mengkomunikasikan atau membuat produk-produk media. Kemampuan literasi media. 
Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementrian Komunikasi dan Informatika Pasal 8 Tahun 2010 yang berbunyi “Ruang lingkup pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial adalah peningkatan kemampuan Lembaga Komunikasi Sosial meliputi manajemen, Sumber Daya Manusia, kelembagaan dan aktivitas Lembaga Komunikasi Sosial.” Pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk workshop dan forum, bimbingan teknis, simulasi dan penyediaan bahan‐bahan informasi.
Gerakan pemberdayaan khalayak dan pendidikan media sangat gencar dilakukan dinegara-negara Eropa dan Amerika. Pendidikan media dilakukan di Inggris dengan menjadikannya mata pelajaran di sekolah-sekolah. Di Kanada pendidikan media dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Di Rusia, pendidikan media sebagai salau satu spesialisasi di perguruan tinggi di beberapa kota besar di Rusia. Bahkan di Amerika Serikat sudah terdapat pendidikan melek-media pada jenjang S-2 dibeberapa perguruan tinggi. Hal ini juga berlaku dengan negara Eropa dan juga Australia. (Yosal, 2009).

Bagaimana di Indonesia?
Berdasarkan penelusuran kepustakaan terhadap buku-buku tentang kajian media dan media literasi dan survei baik dalam bentuk cetak maupun online, menunjukan tingginya penggunaan sosial media di dunia terutama di Indonesia, dan perhatian yang serius terhadap pendidikan media sebagai bentuk untuk mempersiapkan khalayak dan konsumen media massa dalam menghadapi terpaan (Exposure) media massa.
Temuan ini menimbulkan beberapa pertanyaan antara lain :
1.  Apakah pendidikan literasi media terasa perlu diterapkan kedalam kurikulum pendidikan di Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Kanada?
2.   Apakah yang dapat dilakukan atau gerakan apa yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk pemberdayaan khalayak dan pengguna sosial media di Indonesia khususnya terhadap para mahasiswa?

Teori Ekologi Media
Gerakan yang dilakukan oleh FBA berlandaskan kepada salah satu teori komunikasi massa, yaitu Teori Ekologi Media (Media Ecology Theory) yang membahas tentang keterikan masyarakat terhadap media terutama mempertimbangkan dampak dari Internet.
Tema utama dari teori ini adalah bagaimana masyarakat tidak dapat melarikan diri dari pengaruh teknologi dan bahwa teknologi akan tetap menjadi pusat semua bidang profesi dan kehidupan. Menurut McLuhan, masyarakat sangat tergantung pada teknologi dan norma sosial dalam kehidupan masyarakat tergantung kepada kemampuan dalam menghadapi teknologi tersebut. Yang pada intinya media elektronik telah mengubah masyarakat secara radikal. Asumsi dari teori ekologi media adalah sebagai berikut :
  1. Media melengkapi setiap tindakan di dalam masyarakat.
  2. Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita.
  3. Media menyatukan dunia.
Tetapi bagian terpenting didalam teori tersebut yang digunakan sebagai dasar ilmiah gerakan literasi media yang kami lakukan adalah diskusi McLuhan terhadap teori tersebut, yaitu hukum media (laws of media)[5]. Karya tersebut membahas tentang apa yang dapat dipengaruhi (ditingkatkan) oleh media, bagaimana media dapat membuat sesuatu menjadi ketinggalan zaman, apa yang diambil alih dan dikendalikan oleh media, khususnya internet.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan sebuah gambaran tentang dampak karena penggunaan media. Yang pertama adalah bahwa kita tidak dapat melarikan diri dari penggunaan media didalam hidup kita. Kemudian yang kedua bahwa kita secara langsung dipengaruhi oleh media.
  
Rencana Riset
Projek riset yang bertemakan literasi media ini dilakukan sebagai bentuk untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Etika Komunikasi yang diampu oleh Sih Natalia Sukmi. Projek ini dilaksanakan oleh lima orang mahasiswa program studi komunikasi FISKOM UKSW yang dikemudian membentuk FBA (For Better Audience).
Projek dilakukan berdasarkan riset aksi praktek (practical action research) yang dilakukan dengan mengadakan diskusi dan sosialisasi terhadap akademisi baik mahasiswa maupun dosen FISKOM UKSW. Diskusi dilaksanakan pada Jumat, 11 April 2014 di Lab.Grafis FISKOM UKSW yang dihadiri oleh 8 mahasiswa dan 2 dosen.
Dalam projek riset tersebut, FBA mengundang mahasiswa dan dosen FISKOM untuk mengikuti sosialisasi dan diskusi terkait pendidikan media dan gerakan diet media. Diskusi tersebut dilakukan dengan tujuan antara lain sebagai berikut :
a.   Untuk menerima tanggapan akademisi yang bergerak di bidang media mengenai penggunaan sosial media oleh mahasiswa dan penerapan pendidikan literasi media kedalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
b.   Merangsang peserta diskusi untuk mengendalikan penggunaan sosial media mereka.
c.  Menimbulkan kesadaran terhadap peserta diskusi terhadap penggunaan sosial media di Indonesia dan bagaimana perkembangannya sekarang.

Daftar Pustaka
1.      Biagi, Shirley. 2012. Media/Impact : An Introduction to Mass Media. McGraw-Hill.
2.   Dominick, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communicatio. Singapore. McGraw-Hill.
3.   Iriantara, Yosal. 2009. Literasi Media : Apa, Mengapa, Bagaimana. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
4.  West, Richard & Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Humanika.



[1] Biagi, Shirley. Media/Impact : An Introduction to Mass Media. Hlm.186.
[2] Pew Internet & American Life Project, April 8 – May 11, 2008 Tracking Survey.
[3] Data didapatkan dari Search Engine Journals
[4] Berdasarkan riset Socialbakers.com
[5] Hukum media merupakan perluasan lebih jauh dari Teori Ekologi Media dengan fokus pada dampak teknologi terhadap masyarakat. Karyanya dengan Putranya tersebut mempertimbangkan dampak dari internet.

Jumat, 18 April 2014

Penulis Aneh dari Jepang, Akutagawa Ryunosuke

           Waktu aku melintas di selasar perpustakaan, sedang diadakan obral buku disitu. Harganya miring dan bervariasi, mulai dari 5 ribu, 10 ribu, hingga 25 ribu. Kemudian ku borong, hingga lima buku saat itu. Malamnya, kubaca salah satu novel pendek tulisan Akutagawa Ryunosuke, Kappa.

Buku itu menceritakan seseorang yang masuk kedalam dunia Kappa, monster sungai rawa dari cerita rakyat Jepang. Dari situ aku berikan kekaguman kepadanya. Aku membaca secara miris bagaimana sebenarnya Ryunosuke menggambar secara aneh kehidupan manusia. Aku takkan menceritakannya disini. Malas.

Dari buku lain Ryunosuke, kumpulan cerita Rashomon, aku dapat lebih banyak cerpen-cerpennya seperti Bubur Ubi dan Hidung. Aku tidak begitu sering membaca novel, aku lebih sering membaca literatur perkuliahan. Namun membaca Ryunosuke membuatku shock untuk sesaat.

Dia seorang penulis aneh. Aku belum pernah membaca cerita yang seperti ini sebelumnya. Rashomon, menceritakan seorang Genin, samurai kelas rendah yang memergoki seorang nenek tua sedang mencabuti rambut mayat-mayat dan menjualnya sebagai cemara. Nenek tersebut beralasan bahwa mayat-mayat tersebut pantas diperlakukan demikian, lagipula jika ia tidak melakukannya, nenek tersebut akan mati kelaparan. Kemudian Genin, seseoran yang menjunjung tinggi moralitas malah merampok nenek tersebut.

“Kalau begitu jangan salahkan aku jika aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tidak melakukannya”

Itu yang dikatakan Genin, kemudian merenggut pakaian yang dikenakan perempuan tua itu. Nenek tersebut tersungkur. Sambil menggerutu dan mengerang, dia kembali berdiri dan melongok ke bawah gerbang dengan ubannya yang pendek menjuntai. Dua paragraf terakhir bertuliskan :

“Di luar hanya ada kelam malam. Tak ada yang tahu ke mana Genin pergi.”

Sudah? Ya, sudah. Ceritanya Genin baru saja dipecat oleh tuannya, kemudian pergi ke semacam Rashomon (gerbang) dan mendapati nenek tua mencabuti rambut mayat-mayat. Genin lantas merampok nenek tersebut dan pergi entah kemana. Ini membuatku bertanya-tanya apa maksud cerpen tersebut? Apa maksud Ryunosuke? Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Ryunosuke? Tulisan tersebut membuatku kesal sekaligus kagum. Aku kebingungan dengan maksud dari cerpen tersebut, tapi itu yang aku sukai. Ingin sekali aku melanjutkan kisah tersebut.

Kurang lebih dengan Rashomon, ada cerpen berjudul Bubur Ubi. Bubur Ubi menceritakan tentang seorang Goi, samurai yang paling rendah kelasnya #aku tidak dapat membedakannya dengan Genin. Goi tersebut mempunyai tampang yang sangat tidak menarik. Dalam masyarakatnya dia tidak dianggap, dan seringkali dilecehkan dan diacuhkan. Konyol lagi, keinginan terbesarnya adalah hanya untuk makan sup ubi sepuas-puasnya. Hingga suatu saat Goi tersebut berkunjung ke Tsuruga bersama tuanya, Toshihito. Disana ia dapat makan sup ubi sepuasnya. Tetapi sebelum ia memakan sesendokpun sup ubi tersebut, Goi sudah dibuat kenyang karena jumlah sup ubi yang sedang dimasak. Ia terpaksa untuk makan sup ubi sebanyak-banyak. Sudah.

Ada beberapa hal yang mendekan Ryunosuke dengan penulis-penulis cerpen lain, ide ceritanya menakjubkan, tidak konvensional seperti yang selama ini aku baca. Dia berbeda dari yang lain. Pengarang naturalis lebih populer pada zamannya. Pengarang naturalis seringkali mengungkapkan kehidupan asmara dan pengalaman pribadi mereka secara terang-terangan. Menurut Ryunosuke hal semacam itu sebagai hal yang dangkal. Berbeda dengan mereka, Ryunosuke menggambarkannya dengan cara yang lain. Melalui karakter-karakter seperti manusia, hewan, setan dan makhluk-makhluk aneh.

Beberapa tulisan Indonesia yang mengungkapkan kehidupan dan pandangan hidup penulisnya secara terang-terangan adalah Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Tokoh cerita dan pengarangnya sama persis, perempuan, berlatar belakang agama Islam yang taat, dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender, bahkan mungkin feminisme.


Membaca cerpen-cerpennya membuatku gatal ingin menulis. Jelas, nantinya Ryunosuke akan menjadi salah satu pengaruh besar dalam tulisan-tulisanku. Bukan saja tulisannya saja yang mempengaruhiku, tetapi terutama bagaimana dia menulis.

Yang aku pelajarinya setelah membaca tulisan-tulisannya adalah
"Menggambarkan dunia dengan caramu".

Rabu, 16 April 2014

Golput Menggugat Demokrasi



Sebagai sebuah sistem politik yang menjunjung tinggi kesamaan hak warga negara dalam pengambilan keputusan, demokrasi terus memperbarui dirinya selama 2.500 tahun terakhir. Semenjak pertama kali di lahirkan di negara-negara kota (polis) di Yunani pada abad ke 5 SM, sekarang 47% negara di dunia telah menganut sistem ini[1]. Indonesia merupakan salah satu dari 47% negara di dunia yang ikut mengambil bagian sebagai negara demokrasi tersebut.
Dalam pemerintahan yang demokratis, negara mengakui partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan pengakuan terhadap hak dan martabat warga negara. Pengakuan ini terwujud dalam bentuk pemilihan umum yang ditujukan untuk menunjuk wakil-wakil rakyat yang mengisi posisi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Begitupun Indonesia yang katanya negara demokrasi ini, atas nama kedaulatan rakyat, Indonesia juga melaksanakan pemilihan umum tersebut. Semenjak Indonesia diresmikan pada tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan 10 kali pemilihan umum. Yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955 untuk untuk memilih anggota DPR dan konstituante.
Dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi presidensial dengan sistem multipartai, Indonesia telah jatuh dan terluka karena batu sandungan-batu sandungan demokrasi. Pengambil alihan kekuasaan ketangan segelintir orang yang menciderai demokrasi dan mengubahnya menjadi sebuah rezim otoriter yang kuat dan mengontrol segala aspek kehidupan dalam negara pernah terjadi. Penyalahgunaan surat suara oleh partai politik yang tidak bertanggung jawab dan baru-baru ini semenjak pemilu 2006 ramai dibicarakan tentang istilah black campaign dan money politics. Dan juga tidak ketinggalan istilah golongan putih (golput).
Golongan putih bukan sebuah sebutan baru. Istilah tersebut pertama kali terdengar pada pemilihan umum 1971 pada era orde baru. Imam Waluyo menceturkan istilah tersebut pada 1 Juni 1971 di balai Jakarta. Golongan putih muncul sebagai bentuk gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda terhadap kekuatan angkatan bersenjata dan pemerintah orde baru yang ingin memantapkan kekuasaannya. Bapak Arief Budiman, doktor lulusan  Harvard yang merupakan dosen UKSW dan universitas Melbourne merupakan salah satu tokoh gerakan tersebut. Arief Budiman beserta tokoh golongan putih lainnya bahkan pernah dipanggil Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) karena kegiatannya. Golongan putih pernah dilarang pada era tersebut, Menteri  Luar Negeri Adam Malik bahkan menyebutnya sebagai golongan setan.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan istilah tersebut. Warga negara yang tidak dapat dan tidak berhak untuk mengikuti pemilihan umum disebut sebagai bukan pemilih. Sementara golongan putih merupakan individu atau sekelompok yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan tertentu, biasanya sebagai bentuk penolakan terhadap calon-calon wakil rakyat. Mereka yang bukan pemilih belum tentu golput, mereka bisa saja berkeinginan untuk mengikuti pemilihan umum, tetapi tidak sempat atau tidak berhak. Sementara golput merupakan pemilih, tetapi dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.
Golongan Putih di Mata Hukum
Didalam setiap pemilihan umum, selalu saja ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini terjadi disetiap pemilihan umum disetiap negara. Yang patut diperhatikan adalah ketika jumlah Golput begitu tinggi. Golput menjadi perhatian serius KPU pada Pemilu 2014. di Cirebon, Jawa Barat jumlah golput mencapai 54%. Bahkan di Sumatera Utara jumlah golput mencapai 60%[2].
Jumlah Daftar Pemilih Tetap sesuai dengan data yang dimiliki KPU berjumlah 186.569.233 orang[3]. Padahal jumlah penduduk Indonesia 250 jutaan. Ini berarti kurang lebih 63 juta warga negara Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya atau tidak terdaftar sebagai pemilih.
Pembenaran untuk golput dalam pemilihan umum dapat dilihat UU No 39/1999 tentang HAM pasal 43. Juga didalam UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi : “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak untuk memilih”. Dalam pasal tersebut, memilih dituliskan sebagai “hak” bukan “kewajiban”.
Selain itu didalam Undang-Undang Dasa (UUD) 1945 yang diamandemenkan pada 1999-2002 pasal 28 E yang berbunyi : “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.  Pelaksanaan pemilihan umum dijelaskan sebagai “bebas” dimaksudkan bahwa warga negara bebas untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak. Dilihat dari sisi hukum, golput bukanlah tindakan pidana. Tidak datang ketempat pemilihan umum pada hari pemilihan, merupakan tindakan abstention. Dan abstention bukanlah tindakan yang melanggar hukum.
Bercermin dan Tanyakan Pada Golput
Mungkin ada beberapa alasan dan penyebab yang dapat menjelaskan adanya warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Yang pertama adalah warga negara yang tidak mengerti regulasi dan persyaratan untuk menjadi seorang pemilih. Alasan yang kerap kali dilontarkan seperti status kuliah dan kerja kemudian berdomisili jauh dari tempat asal tinggal sehingga tidak dapat dan tidak sempat mengikuti pemilihan umum di daerahnya. Padahal sebenarnya KPU sendiri membantu para perantau tersebut agar dapat memilih ditempat sekarang ia tinggal.
Alasan yang lain mungkin adalah kebingungan para pemilih untuk menentukan calon pemimpin. Pemilih dihidangkan banyak sekali stiker dan baliho puluhan calon legislatif. Para calon menggunakan cara yang terlalu konvensional dan minim alternatif dalam berkampanye. Dari pada bingung, beberapa pemilih bahkan tidak menggunakan hak pilihnya.
Dan yang terakhir mungkin adalah ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pemerintah dan calon legislatif yang maju untuk dapat duduk dikursi pemerintahan harus dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Yang jelas masyarakat telah bosan disuapi oleh janji politik menjelang kampanye pemilihan.
Ada beberapa upaya yang mungkin dapat diupayakan untuk menekan jumlah golongan putih. Misalnya pemerintah khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin lebih giat mensosialisasikan regulasi dan peraturan pemilihan umum terhadap masyarakat. Sosialisasi dapat berupa iklan layanan masyarakat di media massa baik elektronik dan cetak ataupun dilakukan secara langsung melalui seminar dan sosialisasi.
Tingginya jumlah golongan putih dan masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan umum, secara tidak langsung dapat menjadi alat ukur dan cerminan pesimisnya warga negara terhadap penyelenggaraan demokrasi. Golput menjadi bentuk kekecewaan masyarakat terhadap tokoh dan partai politik, termasuk terhadap pemerintah.
Mari bangsa ini bercermin, coba lihat bagaimana penyelesaian kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo dan gerakan separatis di Aceh dan Irian Jaya. Juga bagaimana siaran berita televisi terkait korupsi dan nepotisme menghantam mata dan telinga masyarakat. Masyarakat jenuh terhadap oleh segala kekisruhan yang terjadi di arena perpolitikan tanah air. Yang pasti, tanpa perubahan yang dapat dirasakan masyarakat, golput akan selalu ada dan tidak menutup kemungkinan terjadinya pembengkakan jumlah golongan putih. (Bima Satria Putra)


[1] "Democracy index 2012: Democracy at a standstill". Economist Intelligence Unit. 14 March 2013. Diunduh 29 Maret 2014.
[2] Ikhwan, Khairul. 2013. Tingkat Golput Dalam Pilgub Sumut Lebih Dari 50 Persen. Di akses dari new.detik.com pada tanggal 30 Maret 2014.
[3] http://data.kpu.go.id/dpt.php
 

Tulisan ini diposting juga dalam Portalentera.