Rabu, 16 April 2014

Golput Menggugat Demokrasi



Sebagai sebuah sistem politik yang menjunjung tinggi kesamaan hak warga negara dalam pengambilan keputusan, demokrasi terus memperbarui dirinya selama 2.500 tahun terakhir. Semenjak pertama kali di lahirkan di negara-negara kota (polis) di Yunani pada abad ke 5 SM, sekarang 47% negara di dunia telah menganut sistem ini[1]. Indonesia merupakan salah satu dari 47% negara di dunia yang ikut mengambil bagian sebagai negara demokrasi tersebut.
Dalam pemerintahan yang demokratis, negara mengakui partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan pengakuan terhadap hak dan martabat warga negara. Pengakuan ini terwujud dalam bentuk pemilihan umum yang ditujukan untuk menunjuk wakil-wakil rakyat yang mengisi posisi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Begitupun Indonesia yang katanya negara demokrasi ini, atas nama kedaulatan rakyat, Indonesia juga melaksanakan pemilihan umum tersebut. Semenjak Indonesia diresmikan pada tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan 10 kali pemilihan umum. Yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955 untuk untuk memilih anggota DPR dan konstituante.
Dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi presidensial dengan sistem multipartai, Indonesia telah jatuh dan terluka karena batu sandungan-batu sandungan demokrasi. Pengambil alihan kekuasaan ketangan segelintir orang yang menciderai demokrasi dan mengubahnya menjadi sebuah rezim otoriter yang kuat dan mengontrol segala aspek kehidupan dalam negara pernah terjadi. Penyalahgunaan surat suara oleh partai politik yang tidak bertanggung jawab dan baru-baru ini semenjak pemilu 2006 ramai dibicarakan tentang istilah black campaign dan money politics. Dan juga tidak ketinggalan istilah golongan putih (golput).
Golongan putih bukan sebuah sebutan baru. Istilah tersebut pertama kali terdengar pada pemilihan umum 1971 pada era orde baru. Imam Waluyo menceturkan istilah tersebut pada 1 Juni 1971 di balai Jakarta. Golongan putih muncul sebagai bentuk gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda terhadap kekuatan angkatan bersenjata dan pemerintah orde baru yang ingin memantapkan kekuasaannya. Bapak Arief Budiman, doktor lulusan  Harvard yang merupakan dosen UKSW dan universitas Melbourne merupakan salah satu tokoh gerakan tersebut. Arief Budiman beserta tokoh golongan putih lainnya bahkan pernah dipanggil Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) karena kegiatannya. Golongan putih pernah dilarang pada era tersebut, Menteri  Luar Negeri Adam Malik bahkan menyebutnya sebagai golongan setan.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan istilah tersebut. Warga negara yang tidak dapat dan tidak berhak untuk mengikuti pemilihan umum disebut sebagai bukan pemilih. Sementara golongan putih merupakan individu atau sekelompok yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan tertentu, biasanya sebagai bentuk penolakan terhadap calon-calon wakil rakyat. Mereka yang bukan pemilih belum tentu golput, mereka bisa saja berkeinginan untuk mengikuti pemilihan umum, tetapi tidak sempat atau tidak berhak. Sementara golput merupakan pemilih, tetapi dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.
Golongan Putih di Mata Hukum
Didalam setiap pemilihan umum, selalu saja ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini terjadi disetiap pemilihan umum disetiap negara. Yang patut diperhatikan adalah ketika jumlah Golput begitu tinggi. Golput menjadi perhatian serius KPU pada Pemilu 2014. di Cirebon, Jawa Barat jumlah golput mencapai 54%. Bahkan di Sumatera Utara jumlah golput mencapai 60%[2].
Jumlah Daftar Pemilih Tetap sesuai dengan data yang dimiliki KPU berjumlah 186.569.233 orang[3]. Padahal jumlah penduduk Indonesia 250 jutaan. Ini berarti kurang lebih 63 juta warga negara Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya atau tidak terdaftar sebagai pemilih.
Pembenaran untuk golput dalam pemilihan umum dapat dilihat UU No 39/1999 tentang HAM pasal 43. Juga didalam UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi : “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak untuk memilih”. Dalam pasal tersebut, memilih dituliskan sebagai “hak” bukan “kewajiban”.
Selain itu didalam Undang-Undang Dasa (UUD) 1945 yang diamandemenkan pada 1999-2002 pasal 28 E yang berbunyi : “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.  Pelaksanaan pemilihan umum dijelaskan sebagai “bebas” dimaksudkan bahwa warga negara bebas untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak. Dilihat dari sisi hukum, golput bukanlah tindakan pidana. Tidak datang ketempat pemilihan umum pada hari pemilihan, merupakan tindakan abstention. Dan abstention bukanlah tindakan yang melanggar hukum.
Bercermin dan Tanyakan Pada Golput
Mungkin ada beberapa alasan dan penyebab yang dapat menjelaskan adanya warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Yang pertama adalah warga negara yang tidak mengerti regulasi dan persyaratan untuk menjadi seorang pemilih. Alasan yang kerap kali dilontarkan seperti status kuliah dan kerja kemudian berdomisili jauh dari tempat asal tinggal sehingga tidak dapat dan tidak sempat mengikuti pemilihan umum di daerahnya. Padahal sebenarnya KPU sendiri membantu para perantau tersebut agar dapat memilih ditempat sekarang ia tinggal.
Alasan yang lain mungkin adalah kebingungan para pemilih untuk menentukan calon pemimpin. Pemilih dihidangkan banyak sekali stiker dan baliho puluhan calon legislatif. Para calon menggunakan cara yang terlalu konvensional dan minim alternatif dalam berkampanye. Dari pada bingung, beberapa pemilih bahkan tidak menggunakan hak pilihnya.
Dan yang terakhir mungkin adalah ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pemerintah dan calon legislatif yang maju untuk dapat duduk dikursi pemerintahan harus dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Yang jelas masyarakat telah bosan disuapi oleh janji politik menjelang kampanye pemilihan.
Ada beberapa upaya yang mungkin dapat diupayakan untuk menekan jumlah golongan putih. Misalnya pemerintah khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin lebih giat mensosialisasikan regulasi dan peraturan pemilihan umum terhadap masyarakat. Sosialisasi dapat berupa iklan layanan masyarakat di media massa baik elektronik dan cetak ataupun dilakukan secara langsung melalui seminar dan sosialisasi.
Tingginya jumlah golongan putih dan masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan umum, secara tidak langsung dapat menjadi alat ukur dan cerminan pesimisnya warga negara terhadap penyelenggaraan demokrasi. Golput menjadi bentuk kekecewaan masyarakat terhadap tokoh dan partai politik, termasuk terhadap pemerintah.
Mari bangsa ini bercermin, coba lihat bagaimana penyelesaian kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo dan gerakan separatis di Aceh dan Irian Jaya. Juga bagaimana siaran berita televisi terkait korupsi dan nepotisme menghantam mata dan telinga masyarakat. Masyarakat jenuh terhadap oleh segala kekisruhan yang terjadi di arena perpolitikan tanah air. Yang pasti, tanpa perubahan yang dapat dirasakan masyarakat, golput akan selalu ada dan tidak menutup kemungkinan terjadinya pembengkakan jumlah golongan putih. (Bima Satria Putra)


[1] "Democracy index 2012: Democracy at a standstill". Economist Intelligence Unit. 14 March 2013. Diunduh 29 Maret 2014.
[2] Ikhwan, Khairul. 2013. Tingkat Golput Dalam Pilgub Sumut Lebih Dari 50 Persen. Di akses dari new.detik.com pada tanggal 30 Maret 2014.
[3] http://data.kpu.go.id/dpt.php
 

Tulisan ini diposting juga dalam Portalentera.

0 komentar:

Posting Komentar