Sebagai
sebuah sistem politik yang menjunjung tinggi kesamaan hak warga negara dalam
pengambilan keputusan, demokrasi terus memperbarui dirinya selama 2.500 tahun
terakhir. Semenjak pertama kali di lahirkan di negara-negara kota (polis)
di Yunani pada abad ke 5 SM, sekarang 47% negara di dunia telah menganut sistem
ini[1].
Indonesia merupakan salah satu dari 47% negara di dunia yang ikut mengambil
bagian sebagai negara demokrasi tersebut.
Dalam
pemerintahan yang demokratis, negara mengakui partisipasi rakyat dalam
pemerintahan dan pengakuan terhadap hak dan martabat warga negara. Pengakuan
ini terwujud dalam bentuk pemilihan umum yang ditujukan untuk menunjuk
wakil-wakil rakyat yang mengisi posisi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Begitupun
Indonesia yang katanya negara demokrasi ini, atas nama kedaulatan rakyat,
Indonesia juga melaksanakan pemilihan umum tersebut. Semenjak Indonesia
diresmikan pada tahun 1945, Indonesia telah melaksanakan 10 kali pemilihan
umum. Yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955 untuk untuk memilih anggota DPR
dan konstituante.
Dalam
perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi presidensial dengan sistem
multipartai, Indonesia telah jatuh dan terluka karena batu sandungan-batu
sandungan demokrasi. Pengambil alihan kekuasaan ketangan segelintir orang yang
menciderai demokrasi dan mengubahnya menjadi sebuah rezim otoriter yang kuat
dan mengontrol segala aspek kehidupan dalam negara pernah terjadi.
Penyalahgunaan surat suara oleh partai politik yang tidak bertanggung jawab dan
baru-baru ini semenjak pemilu 2006 ramai dibicarakan tentang istilah black
campaign dan money politics. Dan juga tidak ketinggalan istilah
golongan putih (golput).
Golongan putih
bukan sebuah sebutan baru. Istilah tersebut pertama kali terdengar pada
pemilihan umum 1971 pada era orde baru. Imam Waluyo menceturkan istilah
tersebut pada 1 Juni 1971 di balai Jakarta. Golongan putih muncul sebagai
bentuk gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda terhadap kekuatan angkatan
bersenjata dan pemerintah orde baru yang ingin memantapkan kekuasaannya. Bapak
Arief Budiman, doktor lulusan Harvard
yang merupakan dosen UKSW dan universitas Melbourne merupakan salah satu tokoh
gerakan tersebut. Arief Budiman beserta tokoh golongan putih lainnya bahkan
pernah dipanggil Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) karena kegiatannya.
Golongan putih pernah dilarang pada era tersebut, Menteri Luar Negeri Adam Malik bahkan menyebutnya
sebagai golongan setan.
Ada hal yang
harus diperhatikan dalam penggunaan istilah tersebut. Warga negara yang tidak
dapat dan tidak berhak untuk mengikuti pemilihan umum disebut sebagai bukan
pemilih. Sementara golongan putih merupakan individu atau sekelompok yang
dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan tertentu,
biasanya sebagai bentuk penolakan terhadap calon-calon wakil rakyat. Mereka
yang bukan pemilih belum tentu golput, mereka bisa saja berkeinginan untuk
mengikuti pemilihan umum, tetapi tidak sempat atau tidak berhak. Sementara
golput merupakan pemilih, tetapi dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.
Golongan Putih di Mata Hukum
Didalam setiap
pemilihan umum, selalu saja ada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Hal
ini terjadi disetiap pemilihan umum disetiap negara. Yang patut diperhatikan
adalah ketika jumlah Golput begitu tinggi. Golput menjadi perhatian serius KPU
pada Pemilu 2014. di Cirebon, Jawa Barat jumlah golput mencapai 54%. Bahkan di
Sumatera Utara jumlah golput mencapai 60%[2].
Jumlah Daftar
Pemilih Tetap sesuai dengan data yang dimiliki KPU berjumlah 186.569.233 orang[3].
Padahal jumlah penduduk Indonesia 250 jutaan. Ini berarti kurang lebih 63 juta
warga negara Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya atau tidak terdaftar
sebagai pemilih.
Pembenaran
untuk golput dalam pemilihan umum dapat dilihat UU No 39/1999 tentang HAM pasal
43. Juga didalam UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik
yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di pasal 19
ayat 1 yang berbunyi : “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17
tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak untuk memilih”. Dalam
pasal tersebut, memilih dituliskan sebagai “hak” bukan “kewajiban”.
Selain itu
didalam Undang-Undang Dasa (UUD) 1945 yang diamandemenkan pada 1999-2002 pasal
28 E yang berbunyi : “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pelaksanaan pemilihan umum dijelaskan sebagai
“bebas” dimaksudkan bahwa warga negara bebas untuk menggunakan hak pilihnya atau
tidak. Dilihat dari sisi hukum, golput bukanlah tindakan pidana. Tidak datang
ketempat pemilihan umum pada hari pemilihan, merupakan tindakan abstention.
Dan abstention bukanlah tindakan yang melanggar hukum.
Bercermin dan Tanyakan Pada
Golput
Mungkin ada
beberapa alasan dan penyebab yang dapat menjelaskan adanya warga negara yang
tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Yang pertama adalah warga
negara yang tidak mengerti regulasi dan persyaratan untuk menjadi seorang
pemilih. Alasan yang kerap kali dilontarkan seperti status kuliah dan kerja
kemudian berdomisili jauh dari tempat asal tinggal sehingga tidak dapat dan
tidak sempat mengikuti pemilihan umum di daerahnya. Padahal sebenarnya KPU
sendiri membantu para perantau tersebut agar dapat memilih ditempat sekarang ia
tinggal.
Alasan yang
lain mungkin adalah kebingungan para pemilih untuk menentukan calon pemimpin. Pemilih
dihidangkan banyak sekali stiker dan baliho puluhan calon legislatif. Para
calon menggunakan cara yang terlalu konvensional dan minim alternatif dalam
berkampanye. Dari pada bingung, beberapa pemilih bahkan tidak menggunakan hak
pilihnya.
Dan yang
terakhir mungkin adalah ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia. Pemerintah dan calon legislatif yang maju untuk dapat duduk dikursi
pemerintahan harus dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Yang jelas masyarakat telah bosan
disuapi oleh janji politik menjelang kampanye pemilihan.
Ada beberapa
upaya yang mungkin dapat diupayakan untuk menekan jumlah golongan putih.
Misalnya pemerintah khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin lebih giat
mensosialisasikan regulasi dan peraturan pemilihan umum terhadap masyarakat.
Sosialisasi dapat berupa iklan layanan masyarakat di media massa baik
elektronik dan cetak ataupun dilakukan secara langsung melalui seminar dan
sosialisasi.
Tingginya
jumlah golongan putih dan masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan umum,
secara tidak langsung dapat menjadi alat ukur dan cerminan pesimisnya warga
negara terhadap penyelenggaraan demokrasi. Golput menjadi bentuk kekecewaan
masyarakat terhadap tokoh dan partai politik, termasuk terhadap pemerintah.
Mari bangsa
ini bercermin, coba lihat bagaimana penyelesaian kasus lumpur panas Lapindo di
Sidoarjo dan gerakan separatis di Aceh dan Irian Jaya. Juga bagaimana siaran
berita televisi terkait korupsi dan nepotisme menghantam mata dan telinga
masyarakat. Masyarakat jenuh terhadap oleh segala kekisruhan yang terjadi di
arena perpolitikan tanah air. Yang pasti, tanpa perubahan yang dapat dirasakan
masyarakat, golput akan selalu ada dan tidak menutup kemungkinan terjadinya
pembengkakan jumlah golongan putih. (Bima Satria Putra)
Tulisan ini diposting juga dalam Portalentera.
0 komentar:
Posting Komentar